Cari Blog Ini

Sabtu, 12 Juni 2010

Menanyakan NKRI

Tulisan saya yang berjudul Tempat Tidur dan NKRI melalui majelis Fecebook dikomentari oleh salah seorang pemimpin masa depan Kota Singkawang, Aan Rosady. Petikannya seperti ini:

“akoe jadi terpikir...itulah yang ada dibenak pemuda2 Aceh dewasa ini... entah siapa yg menjejali otak mereka...apakah terprogram atau memang karena tempaan sejarah aceh sampai masa ini yang mmg kita tahu sudah sangat lama diperlakukan tak adil oleh pemerintah pusat mulai zaman Soekarno sampai zaman Suharto... Tapi nampaknya keinginan untuk merdeka itu sudah tersulut dan bagai api dalam sekam tak akan pernah padam.... jangan lupa Kalimantan Barat juga pernah diperlakukan tidak adil oleh junta pemerintah pusat....masih ingat sejarah Sultan Hamid II kan??? Pemuda Aceh mengganggap sampai saat ini mereka masih sedang berjuang, sehingga mereka jadi sangat emosional.....entahlah bgmn pemuda2 diluar Aceh...hehehe”

Dalam sebuah diskusi di Rumah Bang Yan, tokoh Radio Antar Penduduk Indonesia Indonesia (RAPI) Kalbar, kamis malam yang lalu (11/6/2010) saya menceritakan kepada rekan-rekan tentang persoalan tempat tidur itu. Diskusi berubah menjadi agak serius. Saya mengungkapkan bahwa persoalan teriakan merdeka dari pemuda Aceh bukan sekedar persoalan tempat tidur. Tapi persoalan identitas politik yang tergadaikan oleh politisi kita di sepanjang sejarah Republik ini.

Saya mengatakan dalam obrolan santai itu bahwa melihat fenomena elit Jakarta yang semakin pragmatis dan semakin corrupt, saya menjadi pesimis dengan keutuhan NKRI. Negara ini kayaknya terancam bubar dalam 10 hingga 20 tahun yang akan datang. Pendapat saya itu direspon oleh Zulkarnaen Siregar, anggota DPRD Propinsi Kalbar yang seirng kongkow bareng aktivis RAPI di jalan Sheraton itu, dengan nada keras.

“Wah jangan kau ungkit lagi, masa lalu Republik. Bisa kacau nanti Republik ini”, ujar salah satu vokalis Partai Golkar yang sangat disegani ini.

Pendapat itu betul, tapi bukankah sudah lebih dari 30 tahun kita hidup dalam kekacauan. Kekacauan identitas, kekacauan sistem politik, kekacauan sistem keadilan dan pembagian kekuasaan. Bukankah wajar saya (dan mungkin kawan-kawan pemuda di daerah lainnya) berpikir seperti itu? Bahwa untuk apa hidup bersama dalam NKRI jika NKRI hanya dijadikan isntrument bagi proses penyedotan kekayaan alam oleh kaum bangsawan dari Batavia? Untuk apa hidup bersama dalam NKRI jika hingga hari ini tanah milik mereka (sebagai sumber penghidupan masyarakat agraris) dikuasai dengan mudah oleh para bangsawan kaya itu, sementara masyarakat lokal tidak mampu memiliki tanah walau hanya satu karungpun?


Saya katakan pada kawan-kawan dalam lingkar diskusi tidak serius itu, bahwa hari ini, dalam sebuah era reformasi yang dibangga-banggakan itu, tata negara dan sistem hukum menjadi mainan para elit Jakarta. Mereka nyata-nyata semakin tak serius mengelola NKRI. NKRI dijadikan mainan, NKRI dijadikan instrument, NKRI dijadikan wadah untuk mempraktekan berbagai pelanggaran moral yang memuakan.

Sekedar contoh, Bagaimana mungkin orang-orang yang telah nyata-nyata melakukan praktek suap dan mengambil uang negara untuk kepentingan pribadi dan kelompok bisa lepas merdeka? (sedangkan para pencuri ayam di lorong kampung di tembak kakinya?) Bagaimana menjelaskan trilyunan uang pajak ditilep sehingga tak bisa digunakan untuk memperkuat pengelolaan negara? Bagaimana menjelaskan fenomena tentang semakin banyaknya aparat penegak hukum yang justru melakukan pelanggaran hukum (namun tak pernah ditindak dengan tegas?) Bagaimana menjelaskan tentang penguasaan tanah dan SDA di daerah oleh pengusaha pusat yang tak pernah berubah hingga hari ini (sementara rakyat di daerah kesulitan mendapatkan tanah walau hanya satu kavling).

Semua ini menandakan bahwa NKRI dalam situasi terancam, terancam oleh terkoyaknya kepercayaan rakyat terhadap negaranya, negara yang dikelola oleh elit politik yang menyimpan otaknya di perut dan selangkangannya.

Jadi lumrah ketika banyak pemuda di daerah menanyakan kembali tentang keberadaan kontrak politik antara Republik dengan ratusan kerajaan yang ada di Nusantara. Pernahkah ada kontrak politiknya? Adakah kesepakatan tertulis dari kerajaan-kerajaan yang dahulunya menguasai tanah di lingkungannya—lalu hilang diambil oleh kaum bangsawan dari Jakarta, untuk bergabung dengan Republik?

Dahulu alasan ratusan kerajaan itu untuk bergabung (secara moral) dengan Republik mungkin karena begitu terkesan dengan semangat Bung Karno dan kawan-kawan untuk mengusir penjajah dari Nusantara. Tapi sekarang? Penjajah itu justru berasal dari orang-orang yang saat ini berada pada posisi Bung Karno jaman dulu.

Indonesia yang begitu besar ini tak akan pernah selesai jika tidak ada sharing of power dengan daerah. Otonomi dalam bidang pembangunan dan demokrasi harus diperluas menjadi otonomi dalam bidang hukum. Penegakan hukum tidak boleh semata-mata dilakukan oleh aparat pusat. Selain telah terbukti tak pernah kokoh, penegakan hukum yang di arrange oleh kekuasaan pusat akan berlangsung dengan lambat, lentur dan mudah dipermainkan.

Atau dengan kata lain, gagasan Negara Federal menjadi penting untuk diwacanakan kembali, sebagai sebuah reaksi atas ketidakbecusan para pengelola Republik dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Tentang pertanyaan Aan Rosady sebagaimana dalam akhir kalimat pada petikan tulisan di atas, saya akan menjawab bahwa akan semakin banyak pemuda yang menjadi se-emosional pemuda Aceh. Mereka akan muncul tidak hanya dari Kalimantan Barat ini, tapi juga akan muncul dan berteriak dari delapan penjuru mata angin (kayak film silat aja).

Jumat, 11 Juni 2010

Evaluasi dan Saran Pelaksanaan JPI

Berdasarkan pengalaman mengamati dan sedikit terlibat dalam proses pelaksanaan JPI 2010 di Kabupaten Landak, dan demi dapat menjadi media pembelajaran bagi penyelenggaraan event serupa di masa-masa yang akan datang, maka saya mencoba untuk memberikan masukan sebagai berikut:

Pertama, sebaiknya DPP PPMI dapat bertindak lebih dominan dalam merencanakan dan mengontrol pelaksanaan JPI2010. YAng saya lihat, pemerintah daerah lebih dominan, padahal pengalaman penyelenggraaan JPI ada di PPMI.

Kedua, DPP PPMI haru datang minimal 10 hari sebelum kegiatan diselenggarakan. Agar koordinasi dapat terselenggara dengan baik, DPP PPMI dan DPD PPMI mestinya dapat mendirikan kesekretariatan bersama. Akan lebih baik jika sekber itu didirikan di Dinas Pemuda dan Olah Raga Propinsi. Dan 5 hari menjelang kegiatan, posko/ kesekretariatan harus sudah bercokol di arena penyelenggaraan JPI. Saya melihat pelaksanaan JPI 2010 yang lalu rekan-rekan PPMI baru terlihat semua pada tanggal 31 Juni, atau satu hari menjelang kegiatan.

Ketiga, sebaiknya pengurus PPMI, khususnya yang bertugas di lapangan membekali dirinya dengan alat komunikasi handy talkie agar proses komunikasi antar pengurus dapat berjalan dengan lancar.

Keempat, sebaiknya dari Walikota, camat, hingga Ketua Kelurahan di lengkapi dengan HT untuk mempermudah proses pelayanan peserta. Dan ini harus dijadikan SOP dalam penyelenggraan JPI.

Kelima, hendaknya seluruh kontingen diwajibkan untuk membawa HT, minimal 1 buah untuk memudahkan koordinasi dengan sesama peserta atau dengan panitia.

Keenam, hendaknya para peserta/ kontingen dapat dikondisikan psikologisnya agar dapat menerima kondisi perkemahan yang pasti berada dalam kondisi yang serba kekurangan kekurangan. Hal ini untuk menghindari protes-protes dari peserta karena belum bisa menerima tempat tinggal yang baru.

Ketujuh, hendaknya para peserta/ kontingen dapat diwajibkan untuk membawa perlengakapan yang diperlukan dalam perkemahan sehingga tidak memberatkan kerja kepanitiaan, seperti: ember dan gayung (alat ini sering hilang atau mungkinn di 'curi' dari kamar mandi soalnya, hehe), terpal, jas hujan, senter, lampu emergency, stop kontak dengan lubang yang banyak (biar ga rebutan saat ngecas HP), pompa air galon, megaphone, cangkul dan sekop kecil, tali, serta perlengakapan lainnya yang diperlukan seperti payung (biar ga pingsan saat upacara, haha), sepeda lipat (memudahkan mobilitas), kasur spring bed lengkap dengan bantal dan guling, kulkas, ac, televisi, DVD player bahkan play stations, hehe.

Gitu aja deh, moga bermanfaat

Gallery Outbond
















Outbond ini di arrange oleh rekan-rekan TAGANA Kalbar. Organisasi sosial yang dipimpin oleh Bang Syamsul ini mampu melaksanakan kegiatan itu dengan baik, walaupun dengan dana yang terbatas. Di Kalbar, mungkin baru kali ini kegiatan Outbond diikuti oleh seribuan peserta. Walaupun sulit, tapi teman-teman dari TAGANA tak pernah mengeluh. Mereka menjalankan tugas dengan ikhlas. Para pesertapun tampaknya puas.

Gallery Dagelan Jogja









Kontingen dari Jogjakarta menampilkan tari dagelan. Lumayan meriah. Tapi saya tidak banyak mendapatkan keterangan tentang tarian yang ditampilkan. Koordinator seninya (yang menjadi pembaca sinopsis) seperti agak pelit (atau arogan kali yaa?) untuk memberkan informasi. Saat ditanya, matanya kemana-mana, menjawab dengan datar lalu pergi meninggalkan saya. Mungkin saya dianggap bukan wartawan. Yaa ga papalah, toh saya memang bukan wartawan.

Gallery Orang di Balik Layar









Gallery Orang di Balik Layar
Nah ini dia orang-orang di balik layar. Selain rekan-rekan dari RAPI Kalbar yang mendukung pelaksanaan kegiatan di balik kewajiban panitia resmi, ada beberapa persionil yang berada di balik layar untuk membec up kerja-kerja panitia.

Ada Romi (yang berpakaian seragam RAPI), ia adalah anggota RAPI sekaligus sebagai penanggung jawab penyediaan tenda, instalasi listrik dan perlengkapannya. Ada Su Cat, ia adalah orang yang bertanggung jawab terhadap manajemen panggun (yang duduk sambil menelpon pake Hp, eh HT). Ada Angga (yang mengenakan HT di pangkal lengan), ia bertanggung jawab membeck up berbagai kekurangan yang ada dalam tim. Kadang ngurusin tenda, kadang ngurusin konsumsi, kadang ngurusin minuman(dari yang halal sampai yang haram), kadang juga ngurusin peserta (khusunya yang putri, hehe).

Yang menggunakan baret biru itu adalah komandan Satpol PP Kabupaten Landak. Pria asli Dayak ini paling rajin mengontrol keamanan di area pelaksanaan kegiatan.
Nah, yang baju loreng itu namanya Pak Bambang, ia adalah personil yang ditugasi atasannya di Korem Kalbar untuk menjaga tenda dan veldbed. Kira-kira 10 hari ia dan 4 orang rekannya ngekost di GOR Patih Gumantar.

Yang terakhir itu yang menggunakan baju merah, namanya Ilham. Ia adalah salah satu MC kondang di Kalbar. Ia adalah jembatan bagi kami untuk mengkoordinasikan pelaksanaan acara dengan pengurus PPMI.
Yang berfoto sendirian itu adalah Aal (berambut Gimbal) dan Bang Aan. Mereka adalah tim khusus dari Walikota Singkawang yang ikut memotivasi saya dan kawan-kawan untuk menyelesaikan kegiatan. Mereka khusus datang dan menginap di arena Jambore sebagai wujud dari dukungan moril kepada kita semua.
Ada satu orang lagi yang saya lupa menyebutkannya, Jack. Jack adalah pengurus Pramuka yang mebeckup dalam manajemen perkemahan. RUmit banget membangun puluhan tenda sebesar rumah tipe 36, yang tambah rumit adalah membuka serta menutup binatang yang namanya Veld Bed. Bintang itu sempat menggigit kakinya BUng JEck, haha.

Gallery Malam Penutupan II